Idul Adha dan Domba di Hati Kita
Idul Adha yang
kita peringati setiap tahun mempunyai penafsiran yang hakiki sebagai perwujudan
sikap ketawadhu’an manusia terhadap
Allah SWT sebagai sang Pencipta dengan Penuh Totalitas. Idhul Adha sering juga
kita maknai sebagai momen pengorbanan diri yang sebesar-besarnya serti
peniadaan pamrih setinggi-tingginya.
Nabi Ibrahim
AS beserta putranya Ismail merupakan tauladan dalam perwujudan kepasrahan diri
kepada Allah SWT serta simbol kemenangan terhadap perang melawan hawa nafsu dan
sifat keakuan. Kita sering berpendapat bahwa apa yang telah terjadi oleh
Ibrahim beserta ismail putranya adalah semata-mata karena beliau merupakan
seorang nabi dan rasul sehingga diberikan ketabahan, keihklasan serta iman yang
luar biasa kuatnya oleh Allah SWT. Kita sering melupakan faktor kemanusiaan
dari nurani seorang Ayah dan Anak. Lantas bagaimana jika kita semua dihadapkan
dalam kondisi yang sama ?.
Pada dasarnya
peristiwa Nabi Ibrahim AS. Dan Ismail As. Merupakan suatu peristiwan dari masa
lalu yang patutnya kita jadikan sumber refernsi yang baik dan pelajaran bagi
generasi selanjutnya. Ya tentu saja kita-kita yang hidup dalam kondisi yang
carut marut, tentu peristiwa ini patut kita jadikan Sebagai refleksi diri untuk mampu bersikap
dalam kondisi modern saat ini.
Lantas, seperti
apakah sikap perwujudan kurban yang selayaknya kita pahami sesuai deng kondisi
dunia saat ini?, apakah dengan pengorbanan yang tak pernah kita nikamti
manfaatnya sebagai perwujudan kerelaan tertinggi atas rakyat terhadap
negaranya?, ataukah sudah cukup untuk mengorbankan seekor domba, atau kambing,
atau sapi saja?, ataukah cukup patungan untuk membeli kambing dan menjadi
lunaslah kewajiban berkorban kita kepada Allah SWT?. Tentu bukanlah itu semua. Yang
kita harapkan adalah berkurban dengan penuh kesadaran tinggi atas keimanan yang
penuh dan bukan pada seremonial belaka.
Allah Tidak
pernah butuh apa saja yang kita korbankan. Bahkan diri kita pun Allah tidak
pernah butuh. Tuhan tidak butuh apapun karena Dia mampu menciptakan apapun yang
lebih indah dalam hitungan detik yang tak terhingga.
Jadi kambing
kita, domba kita dan sapi kita akan kita larikan kemana? Yang pastilah tidak
kemana-mana. Selain lari pada yang membutuhkan jika beruntung pasti akan tiba
pada keridhoan Allah SWT. Tapi percayalah bahwa esensi kurban sesungguhnya bukanlah
itu. Idul kurban yang kita laksanakan setiap 10 Dzulhijjah tidak menjadi jaminan
bahwa kita tidak mengorbankah hak-hak orang lain lebih lebih hak-hak Allah Azza
wajalla dalam 363 hari lainnya. Bagaimana kita mempertanggung jawabkan itu kepada
tuhan sebagai seorang pemimpin yang rahmatan lil alamin?
Sesungguhnya domba,
kambing atau sapi itu adalah hakikatnya kita sendiri. (jangan tersinggung ya ..). jika
ada yang harus dikorbankan seharusnya ya diri kita sendiri tentunya, gaya hidup
kita, mentalitas kita, keimanan kita dan tanggung jawab sosial kita terhadap
masyarakat sekitar kita yang juga tak beranjak dari derajat prilaku kambing,
domba ataupun sapi.
Lantas ada apa
dengan prilaku kambing, domba dan sapi? Kenapa kita kaitkan dengan prilaku kita
dalam berkurban ?. Kambing, domba dan sapi yang tak pernah kenyang dan selalu
ingin merebut hak milik/kepunyaan orang lain. Yang merasa cukup menjadi orang
baik sehingga tak mau menerima saran dan kritik dari orang lain, merasa benar
sendiri sehingga cenderung menyalahkan orang lain, mengetahui yang benar tapi
tidak mau menjalankannya, tak punya malu terutama untuk memanjakan nafsu, serta
apa saja yang berruang duniawi semata dan tidak sejati.
Jika kita
mampu dewasa dalam manajemen pengorbanan nafsu rendah macam diatas, lalu
istiqomah pada jalanNya, maka tidaklah menajdi persoalan kita kita akan
berkorban dengan kambing, domba maupun sapi. Saat itulah kita tak pernah lagi
mempertimbangkan untung rugi dalam berniaga dengan Allah karena hakikat dari
pemberian di jalan Allah adalah penerimaan dengan jumlah jauh lebih besar. Semoga
kita digolongkan utuk menjadi manusia yang mempuyai kesadaran tinggi dan
terbebas dari nafsu domba, kambing ataupun sapi. Amin. (diadopsi dari buku Tuhan sang Penggoda by M Arief Budiman)
0 comments: